Alasan: A Story

"Dit, laporan yang diminta sudah selesai?" tanya seorang wanita dewasa dengan kacamata yang selalu setia bersamanya.


Laki-laki berkemeja biru tua yang sedang duduk di depan komputer tersentak saat mendengar pertanyaan tiba-tiba tersebut.


"Sudah Mbak Yuni. Ini tinggal di perbanyak saja" sahut laki-laki itu sembari memberikan laporan yang diminta.


"Terima kasih ya Aditya saja. Sudah jam 5, mending kamu cepat pulang. Hari ini bos larang semuanya buat lembur. Jadi, cepet pulang sana!!!" balas Mbak Yuni sembari mengusir halus Aditya.


"Iya, iya mbak. Mentang-mentang nama saya satu kata doang malah ditambah saja. Duluan ya mbak, jangan nge-date sama bos terus." balas Aditya kembali dengan tertawa sambil melambaikan tangannya.


Aditya berjalan dengan santai dalam perjalanan pulang. Karena hari ini benar-benar dia tidak tau harus melakukan apa. Sebab hampir setiap hari kegiatannya kalau tidak memancing saat weekend bareng bapak ya kerja sampai lembur saat hari kerja. Bagi Aditya, lembur merupakan satu-satunya cara agar sedikit dapat melarikan diri dari kehidupan yang mengikatnya. Dia pun melihat jam yang berada di pergelangan tangannya dan menunjukkan pukul 05.30.


"Ah, senja." pikir Aditya sebentar 


Aditya merasakan semilir angin saat dirinya keluar dari gedung tempatnya berkerja. Baru saja dia ingin beranjak pergi terdengar seseorang memanggil namanya.


"Adit, Adityaaa. Tunggu, woy tunggu." teriakan yang menulikan telinga bergema membuat beberapa manusia yang berlalu lalang menoleh melihat mereka.


"Ko, Bisakah tidak teriak sehari saja? Ini tempat umum bukan kebun binatang. Bahkan binatang saja tidak se-berisik dirimu" tegur Aditya dengan nada datar.


Dia sudah tidak heran dengan tingkah laku sahabatnya itu. Siapa lagi kalau bukan Koko alias Komaruddin. Jujur saja menurutnya bertemu Koko berarti ada hal yang ingin disampaikan walaupun terkadang caranya agak di luar nurul.


"Sialan! Mulutmu selalu saja setajam silet saudara seiman dan setanah air. Gua tadi pas dari minimarket buat beli makan malah lihat lu di depan kantor kek orang linglung. Makanya manggil lu karena kebetulan ada yang mau gua sampaikan" jelas Koko dengan gerakan tangan yang heboh.


Aditya mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti, tetapi tetap mendengarkan sahabatnya sampai selesai.


"Ayo, sambil jalan saja. Gua mau mampir ke minimarket di tempat lu tadi." sahut Aditya.


Mereka pun berjalan pelan sembari berencana melanjutkan percakapan yang sebelumnya tertunda. Beberapa menit berlalu, keheningan masih menyelimuti mereka berdua. Saat Aditya pura-pura batuk untuk memberikan tanda pada Koko tetapi tetap saja Koko belum membuka mulutnya kembali. Hal ini menyebabkan perasaan kesal menyelimuti Aditya.


"Ko, bicara atau gua robek mulut lu kaya jaman sekolah dulu" kata Aditya dengan nada sedikit mengancam


Koko yang mendengarnya semakin merasa malas berbicara. Padahal dia hanya ingin memanggil sahabatnya ini lantas ingatan yang datang tiba-tiba menyebabkan dirinya harus membicarakan sesuatu.


"Jangan kejam kalo bicara bro. Gara-gara mulut lu itu si manis pergi bukan. Gua cuman mau menyampaikan sesuatu kalau Raka sudah menjadi penyiar sekarang." jelas Koko dengan nada hati-hati.


Aditya yang mendengarnya pun tertawa terbahak-bahak apalagi saat sahabatnya menggunakan nada yang sangat berhati-hati.


"Lantas? Apa urusannya dengan gua, ko? Syukurlah, berarti kehidupannya baik." sahut Aditya dengan santai


Koko yang mendengar jawaban tersebut hanya bisa menyengir dan menggaruk kepalanya yang sudah gatal menjadi semakin gatal.


"Memang tidak urusannya dengan lu, bajingan. Berita selanjutnya mungkin sedikit lebih mengejutkan lu." jawab Koko dengan nada jengkel


Aditya pun hanya menaikkan sebelah alisnya sembari memberikan tatapan menantang kepada Koko. Pertanda seberapa mengejutkan berita yang akan disampaikan olehnya. 


"Raka akan menikah dengan si manis."


Perkataan Koko beberapa menit yang lalu masih teriang-iang di dalam kepalanya. Setelah mendengar berita yang mendadak itu Aditya tidak menjawabnya melainkan hanya melambaikan tangan tanda perpisahan di depan minimarket. Koko tidak memaksanya untuk menjawab melainkan hanya memberikan laporan bahwa dia akan lembur. Perbedaan devisi menyebabkan Koko lembur sedangkan dirinya tidak. 


"Ah, sial! Koko dan segala informasi miliknya."


Pikiran Aditya mengutuk Koko sembari memijit pelipisnya dengan perasaan berat. Dia pun berjalan pelan menuju taman di sebelah minimarket. Aditya mencoba menenangkan pikirannya sembari mengedarkan pandangan untuk mencari tempat istirahat sejenak. Bukan kursi yang ditemukan melainkan sosok yang sangat familiar olehnya. Ternyata keluarga kecil dari adiknya sedang melakukan piknik bersama isteri dan anaknya. Bak gayung yang bersambut keponakannya yang sedang berusia tujuh tahun berlari ke arahnya di ikuti dengan adik serta adik iparnya.


"Om, Adityaaaaaaaa!!!." panggil ponakan kecilnya sembari merentangkan tangan.


Aditya pun dengan sigap menyambutnya dan menggendongnya. Mereka berputar-putar dengan ringan sampai sang ponakan meminta untuk diturunkan. 


"Om, tumben sudah pulang dari kerja. Kenapa ada disini?" tanya ponakannya dengan lucu.


Aditya yang mendengarnya pun tertawa renyah. Tawa yang bila diperhatikan berbeda dengan tawa sebelumnya.


"Om, disuruh pulang. Ke sini mau lihat senja sebentar. Kalian juga mau lihat senja ya disini?." tanya Aditya sembari mengusap kepala ponakannya.


Anak kecil itu pun melihat ke arah ayah dan ibunya. Sebelum anak kecil menjawab, sang ayah memanggil namanya. Anak kecil yang riang itu pun segera menghampiri sang ayah sembari melambaikan tangan pada Aditya. Terlihat adik dan adik iparnya sedang dalam pembicaraan yang cukup serius, namun tidak lama adik iparnya pun pergi bersama ponakannya. Sebelum pergi mereka melambaikan tangan padanya dan dibalas Aditya dengan lambaian tetapi dengan pikiran yang bingung. Terlihat adiknya menghampiri Aditya dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa.


"Mas Adit." panggil ayah sang anak saat tiba dihadapan Aditya.


"Ada apa Anwar? Kenapa Kaila dan Kana pergi lebih dahulu?." tanya Aditya sedikit bingung 


"Nanti Anwar jawab ya mas. Ada yang mau Anwar bicarakan, mari cari tempat duduk dulu." sahut Anwar dengan pelan.


Aditya yang mendengarnya semakin bingung. Entah kenapa hari ini banyak sekali orang-orang yang ingin menyampaikan sesuatu padanya. Tadi Koko, sekarang adiknya, lalu siapa selanjutnya. Aditya tidak ingin ambil pusing dan segera mendudukan dirinya di tanah dengan posisi bersila.


"Gak perlu. Duduk disini, bicara apa yang mau dirimu bicarakan." jawab Aditya sekaligus memberikan perintah pada adiknya.


Anwar yang mendengarnya pun mau tidak mau harus segera duduk. Karena perkataan kakak sulungnya itu merupakan suatu keharusan. Lebih baik melakukan yang diperintahkan daripada berurusan dengan emosi milik kakaknya.


"Kaila dan Kana, Anwar suruh pulang duluan. Biar Anwar pulang bareng dengan mas. Kemudian hal yang mau Anwar bicarakan, si manis akan menikah dengan Kak Raka, mas." jelas Anwar dengan hati-hati.


Aditya yang mendengar hal yang sama dengan pembicaraannya dengan Koko pun hanya bisa menghela napas. 


"Hah, kenapa bahas soal si manis lagi Anwar? Baik Raka maupun dia sudah tidak ada urusannya dengan mas. Kalau soal yang sudah terjadi, tidak apa-apa. Mas sudah tidak apa-apa." jawab Aditya 


Anwar yang mendengarnya pun semakin merasakan perasaan tidak nyaman. 


"Anwar minta maaf mas, seandainya saat itu Anwar ada di rumah mungkin mas sudah bekerja sesuai impian mas dan menikah dengan si manis." jelas Anwar dengan nada sedih


Aditya yang mendengarnya pun menghela napas. Kenapa semua orang masih menganggap dirinya tidak merelakan yang sudah terjadi. Padahal segalanya terjadi karena memang sudah ketentuan Tuhan. Ditambah dia memiliki alasan tersendiri mengapa dia memundurkan usaha menggapai impian dan menyebabkan rencana pernikahannya dengan si manis gagal. Mungkin ini saatnya membicarakan keadaan sebenarnya dengan sang adik.


"Anwar, tidak perlu minta maaf. Karena semuanya bukan salah kamu ataupun siapapun yang ada di dalam keluarga. Mas akan cerita alasan sebenarnya. Dengarkan, karena tidak ada siaran ulang" sahut Aditya.


Anwar pun menganggukkan kepala tanda paham instruksi dari saudaranya.


"Anwar, impianku masih bisa dicapai bahkan untuk ke depannya masih ada jalan mewujudkannya. Karena mas masih punya nurani, bagaimana mas bisa meninggalkan ponakan mas yang akan lahir, sedangkan kamu saat itu masih bertugas diperbatasan. Kemudian soal gagalnya biduk hubungan mas dengan si manis bukan karena itu pula. Melainkan dia sudah selingkuh dari mas. Jadi, kamu jangan merasa bersalah lagi ya." jelas Aditya sembari melihat senja yang membawanya menuju kenangan silam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amparan Tatak dan Cara Membuatnya

Dia: A Story